Minggu, 04 November 2012

Love in Legacy



Ada sedikit keanehan hari ini. Dua temanku, Dara dan Aulia tidak ada di kelas sejak istirahat tadi. Mereka menghilang tanpa kabar. Aku mencoba menengok kanan kiri tetapi memang tidak ada mereka.
            Sekolah memang selalu membuatku muak. Mereka terlalu berorientasi pada nilai. Hal ini membuatku sangat tertekan. Belum lagi persoalan yang lain. Hari ini, tanpa ada mereka berdua, pelajaran hari ini terasa sangat menyebalkan.
            Saat ini sedang pelajaran Biologi. Sang guru kali ini sedang menjelaskan tentang sistem regulasi pada manusia. Ini berhubungan dengan otak dan sel saraf. Keren juga, tapi nggak sekeren kalau ada mereka. Aku mengetuk – ngetuk dan memainkan pensilku dengan jemari. Aku mendengarkan penjelasan guru sambil menoleh ke kanan dan ke kiri. Memang nggak ada mereka.
            “Maya, kamu ngapain nengok kanan kiri? Memangnya ada sesuatu yang lebih menarik di kelas ini ya?” Tegur Bu Guru tiba – tiba. Sejujurnya aku nggak ngerasa kaget karena aku memang kepengen kayak gitu.
            “Nggak ada sih, Bu. Cuma, Dara ma Aulia ke mana ya? Kok dari tadi saya nggak ngeliat mereka?”
            Bu Guru menautkan alisnya, “Mereka kan sudah izin pulang dari tadi. Memangnya kamu nggak dikasih tau?”
            “Hah, Izin? Kok aku nggak dikasih tau ya?” Ujarku kaget dan reflek bermonolog.
            “Katanya mereka ada acara keluarga. Aneh, izin kok bareng – bareng. Padahal mereka nggak dari keluarga yang sama.” Kata Bu Guru langsung menyerobot lagi.
            Aku kembali mendengarkan penjelasan Bu Guru. Yah kalau mau tahu, nama aslinya itu Bu Yuli. Tak begitu sesuai dengan nama plesetannya, Bu Yuli jarang terlihat menggunakan barang – barang yang berwarna kuning. Bu Yuli termasuk guru senior, makanya kadang terlalu ngurusin anak – anak didiknya. Maksudnya menyusahkan. Bu Yuli sangat menekankan kebersihan dan perawatan lingkungan. Benar – benar cocok jadi guru Biologi. Mukanya aja udah kayak kembang sepatu alias Hibiscus Paraciea. Eh?
           
Maka, aku harus bisa mebuat diriku senyaman mungkin selama jam – jam terakhir ini. Kubayangkan sumsum tulang belakang yang mirip seperti cetakan kupu – kupu. Sel saraf yang mirip sosis asap panjang dengan ujung ranting dan berkepala lebar serta beranting. Otak pun turut ku salah gaulin. Ups? Hehe, mau tau apa yang kupikirkan. Otak itu seperti kumpulan usus yang dipadatkan. Ieuh, wajahku berubah muram. Bu Yuli yang sedari tadi memerhatikanku hanya bisa mengerutkan kening dan berpikir kenapa dia bisa punya murid seaneh aku.
Bel pun akhirnya berbunyi. Aku keluar kelas dan mencari Andrew. Apa aku sudah kasih tau kalau aku sekelas dengan Andrew? Belum ya? Andrew pindah kewarganegaraan ini sejak setahun yang lalu tapi Andrew baru benar ke Indonesia dan pindah ke sekolah tiga bulan yang lalu. Kali ini Andrew juga menghilang. Menyebalkan.
Sekarang aku bingung. Kalau Andrew pulang duluan, itu artinya aku harus naik angkutan umum. Argh, pasti bakal malem deh pulangnya. Sekarang saja sudah sore, terus gimana? Aku mengerutkan bibir, menendang – nendang pasir dan bergumam nggak jelas selama menunggu di halte. Aku tak peduli dan sepertinya orang sekelilingku begitu pula. Ada mbak – mbak yang sibuk memainkan handphonenya, padahal aku rasa ada beberapa mata yang siap untuk nyolong hapenya. Disebelahku, bapak – bapak tiga limaan ngerokok. Aku memutar mata dan pergi dari tempat itu.
Saat aku berjalan, aku merasakan ada hal yang aneh. Tadi saat menunggu di halte, ada sepasang mata tajam yang menatapku dari kejauhan. Seorang lelaki, mungkin. Sekarang, aku kembali bingung dan semakin cemas. Gimana nggak, lelaki itu sudah tidak berada di tempat itu lagi. Terus dia ada dimana dong?
Kecemasanku bertambah parah dan semakin parah. Tanpa sadar, aku berlari. Aku panik.  Aku berlari semakin kencang sampai menabrak seseorang didepanku. Kutengadahkan wajahku. Dia lebih tinggi dariku sehasta. Kutatap wajahnya dan aku……..
“Aaaaaahhhhh” itulah satu kata yang terucap dari mulutku. Aku takut sekali. Gimana nggak? Tampangnya kejam banget. Aku hendak berlari dan berteriak minta tolong tapi dia memegang pundakku serta membaliknya dengan kasar. Aneh, dia menyuruhku berhenti dengan isyarat. Sayang, aku terlalu takut dan panik sehingga aku malah menangis keras. Dia pun mengaruk kepalanya dengan bingung, lalu menyekap mulutku dan memaksaku ikut masuk ke dalam mobilnya. Aku pasrah mengikutinya. Setidaknya dia tidak memasukkanku ke dalam jeep dan mengikat tanganku.
Dia menjalankan mobilnya dengan sangat kencang. Benar – benar kencang. Aku ketakutan dan berusaha membuka pintnya. Sayangnya terkunci dan hanya sang supir yang bisa membukanya. Sial.
“Sayang sekali, nona. Anda takkan bisa keluar dari mobil ini sampai kita tiba di tempat tujuan kita.” Dia memberikan senyum liciknya meskipun wajahnya hanya terpaku pada jalan.
“Mau lo apa? Turunin gue sekarang juga!” paksaku. Intinya, ngotot.
Bukannya menjawab, lelaki itu malah tersenyum padaku dan mengelus daguku. Koreksi, mencolek. Tanganku bergetar dan keluarlah keringat dingin. Gayanya sungguh mirip Adipura. Penjahat kelas kakap bermuka licik. Pas banget. Matanya sama – sama tajam dan senumnya sama – sama nggak tulus. Malah nakutin.
Di jalan, aku hanya bisa menatap jalanan sekeliling yang sungguh membingungkan. Aku bakal dibawa kemana oleh lelaki gila ini? Aku tak bisa tenang, bahkan untuk mendengarkan musik yang diputar didashboard mobil. Ah untuk apa? Musiknya sama – sama gila. Melihat interior mobil, rasanya sama seperti mobil ayahku.
“Hey girl, don’t worry. Let’s go party shakalaka!” dia kembali tersenyum padaku. Pesta shakalaka? Maksudnya apa coba?
“LO GILA!!!”
Dia kembali tak peduli, malah tetap mengemudi sambil mabuk. Sebenarnya dia tidak minum, tapi gaya menyetirnya kayak orang mabuk. Sradak sruduk. Sampai aku ngeh sama tempat ini. Kayak jalan ke rumahku. Lah nih orang apa mau nganterin ke rumah aku ya?
Tibalah kami di depan sebuah rumah besar. Itu rumahku. Aneh. Orang ini sungguh aneh. Dia mengantarku sampai ke rumah? It’s so really magic!
“Lo malah keenakan lagi disini. Ayo turun!” suara lelaki itu menyentakku dari lamunan. Aku menuruti ajakan lelaki itu. Tentu saja pintu mobilnya dibukakan olehnya. Aku berjalan setengah nggak percaya. Orang baik yang aneh. Atau…….
“Don’t touch me!” sentakku reflek saat dia hendak memegang tanganku. Enak saja baru ketemu udah pegangan tangan. Eh?
Aku mengetuk pintu. Hari itu masih cukup sore. Sekitar jam lima sore. Aku menegok ke belakang dan melihat lelaki itu masih menunggu tepat dibelakangku. Dia, dengan mata tajam dan senyumnya yang aneh dan menakutkan.
Pintu terbuka. Aku langsung menjitak kepala orang yang ngebukain pintu. Kau tahu siapa? Yups, Andrew.
“Hoi, sakitlah. Kagak sopan banget luh. Ntar gue bilangin Oma nih!” katanya sambil mengelus kepalanya yang kujitak.
Aku melangkah seolah – olah tidak ada yang terjadi. Koreksi, tidak ada seorangpun disekitar pintu. Andrew pun juga bersikap hal yang sama. Dia malah menyilahkan cowok yang berada dibelakangku. Aku tetap nggak peduli sampai…..
“Drew, kok rumah jadi rame sih? Ada acara apa?” Tanyaku heran.
“Oma ma Opa dateng ke sini” jawabnya datar dengan sedikit happy. Dia segera bergabung denan kerumunan itu.
Oma dan Opaku memang heboh. Setiap mereka datang kemari, selalu ada saja perayaan. Mereka juga suka memberikn kejutan pada anak-cucunya. Sayang, Omaku pilih kasih, dia sering memberikan hadiah ke Andrew, sementara ke cucunya yang lain malah jarang. Bahakan, aku tak pernah diberi sama sekali. Menyebalkan sekali bukan? Padahal aku cucu perempuan kandung satu – satunya dia Jo’s family.
Aku mengikuti langkah Andrew. Aku kemudian berhenti dan terpaku pada sepasang manula yang sedang bercengkrama. Ya, dia Opa dan Omaku. Omaku menoleh dan menatapku.
“Maya, ayo kemari!” ajak Oma.
  Aku mendekati Oma dan Oma memberikanku kejutan. Tahukah kau apa kejutannya?
“Maya, Oma sebentar lagi akan memberikanmu dan yang lain warisan. Hanya seperseratusnya aja kok.” Katanya tersenyum. Dia lalu menuju panggung yang telah dipersiapkan dan mulai berbicara,
“Anak – anak dan cucu – cucu Oma yang Oma cintai. Oma akan memberikan kalian kejutan baru. Sebulan lagi Oma dan Opa akan merayakan ulang tahun pernikahan yang ke, umm, 50 tahun. Sudah tua sekali bukan?”
“Iya, Oma dan Opa sudah tua. Jangan suka mengulur waktu. Harus dipergunakan dengan baik.” Jawabku semi bete. Hasilnya? Oma menatapku tajam lalu kembali melanjutkan bicaranya,
“Ah, hanya gangguan teknis sedikit. Oma ingin memberikan kalian, umm” Oma berhenti bicara dan mengecek kondisi dompetnya, “Hahaha, kenapa kalian ikut mengecek dompet kalian juga? Memangnya uang satu miliar muat masuk ke dalam dompet?” Oma cekikikan.
Aku tiba – tiba tersedak. Satu miliar. Maksudnya? Oma dan Opa mau ngasih satu miliar gitu? Something banget sih. Mengherankan. Make me so curious.

“Kalian pasti kaget. Opa kalian memang akan memberikan satu miliar, tapi ada syaratnya. Kalian harus mempunyai pasangan dan bersikap mesra sampai satu bulan lamanya. Buat yang jomblo, jangan harep ya!” Wow, Oma mengakhirinya dengan kata – kata yang P-E-D-A-S. Asem. Eh?
Aku menoleh pada Andrew dan mendekatinya. Dia ngeh dengan keberadaanku.
“Mau ikut?” tanyanya.
“Entahlah.” Jawabku yakin nggak yakin.
Entah dari mana keberadaan dari mana atau bagaimana, ada suara tertawaan yang mirip sekali dengan suara mak lampir. Aku dan Andrew berbalik. Argh, Sumur!
“Hai, Bule nggak laku!” sindir Summer.
Dia Summer. Aku lebih suka menyebutnya sumur. Lagian sok – sok western banget. Gue yang turunan western aja nggak selebay itu.
“Lo juga sama kali. Nggak laku!” Balasku dengan ngotot.
“Eh, sapa bilang. Lihat nih sapa yang datang. Bebeph, sini dong!”  dia memanggil cowok yang berada dari kejauhan dan keluarlah cowok tampan yang buta. Oke, matanya normal tapi aneh aja ada yang suka muka tua kayak Summer gitu.
“Kenalin. Dia ikan kesayanganku. Namanya Qoqi.” Dia mengenalkan pacarnya.
“Hai, aku Qoriaswarandana, panggil aja aku Qoqi.” Dia mengulurkan tangannya.
“Hai juga. Maya” kubalas jabat tangannya. Shakehand yang mantap. Dia cowok banget.
Qoqi. Sepintas mirip ikan Koki. Koki yang tampan. Dilihat dari dekat, kece badai. Summer memang Summer. Menyilaukan mata Qoqi. Aneh. kalau aku jadi dia, bakalan aku putusin kali.
“Nah, mana cowok lo?” dia kembali mengejekku.
“Andrew?” pintaku.
“Sorry, my lovely cousin. Gue udah punya pacar.” Jawabnya enteng. Menolakku.
“Siapa?” tanyaku. Mendadak sedih. Summer makin merajalela deh.
“Honey Bunny Sweety, aku kelamaan ya?” Tiba – tiba seorang cewek menghampiri Andrew dan memasang tampang manja. 
            “It’s Ok, my dear.” Jawabnya tersenyum dengan sangat lembut.
Aku jealous dan shock secara bersamaan. Cemburu karena ada seseorang yang bermanja – manjaan dengan Andrew dan Andrew malah ngebiarin aja. Kaget karena cewek itu, AULIA!
“Aulia! Kamu ngapain disini?” Tanyaku sewot.
“Weiz mbak, stay cool. Gue kan pacarnya dia, jadi gue mesti hadir di tempat ini.” Jawabnya dengan amat riang.
“What? Lo pacaran ma Andrew? It’s so…… tunggu bentar, lo kesini bareng ma sapa? Gue tau lo nggak suka pergi ke tempat baru kalo nggak ada temen lo.” Aku benar – benar korslet dan semakin korslet setelah…..
“Dia dateng bareng ma gue.” Penjelasan singkat itu datang dari Dara. Dia dateng dengan Julio. It’s really……
“Cup cup cup, kasian yah, yang nggak laku. Wayahna yah!” Si Sumur kembali beraksi. Sedari tadi dia emang ada di depan aku. Tragis dan semakin tragis karena dia melihat penderitaanku dari awal hingga akhir.
“Wayahna atuh dia jadi pacar pangeran.” Si orang aneh itu menyelamatkanku dari rasa malu. Cowok itu telah membutakan sebagian besar wanita di tempat itu kecuali Aku dan Omaku.
“Hai Handsome Prince!” sapa Summer yang mendadak berubah jadi centil.
Di saat seperti itu, dia kembali menyentuhku. Kali ini merangkulku. Apa – apaan?
“Suut, jangan kayak gitu. Nanti pacar gue cemburu.” Katanya sambil mendesiskan mulut dengan isyarat diam.
“Pacar? Kenalan aja belum.” Kataku jutek.
“Oh iya, gue hampir lupa. Nama gue Pangeran.” Katanya denga sangat pede.
Sayang sekali, kepedean dia malah kubalas dengan ludahan. Hanya isyarat, bukan meludah asli. Tapi tetep nyelekit.
“Narsis banget lu. Sayang sekali, gue bukan Cinderella. Gue Maya Jo.” Ledekku penuh sarkatis.
“Dih, gue emang pangeran. Pangeran Gusti Prasetyo. Iya nggak sob?” dia mengulurkan tangannya ke atas dan ber hi-five ria dengan Andrew.
“Yoi, prince.” Jawabnya sangat mendukung disertai dengan kenaikan sebelah alisnya.
Aku hanya bisa menganga. Prince?
“Ahaa, kau kalau tak mau, aku yang bakal ambil. Sayang mubazir.” Summer langsung menarik lengan Pangeran. Bener – bener dahsyat. Di depan Qoqi pun dia berani pegang tangan cowok lain? Qoqi bener – bener buta.
Pangeran melotot kaget, terlebih aku. Tanpa babibu, kulepaskan lengan yang menarik tangan Pangeran. Kutautkan lengannya pada lenganku. Kulihat wajahnya tersenyum sagat puas.
“Dia punya gue. Sana lo pergi sama pacar lo!” gertakku.
Summer pun melengos pergi. Qoqi menyusul di belakang. Koreksi, sebenarnya Qoqi sudah pergi dari tadi, hanya saja tadi dia balik lagi.
Kutolehkan wajahku ke wajahnya. Kukerucutkan bibirku saat melihatnya. Kulepaskan lenganku darinya tapi malah melekat seolah – olah ada lem yang meliputi lenganku dan lengannya. Dia hanya tersenyum.
“Lepasin tangan gue, dasar orang aneh!” kataku sambil berusaha melepaskan diri dari bekapan lengan Pangeran.
“Tapi lo mau kan jadi pacar gue?” Bukannya lepasin tanganku, dia malah makin ke-GeeRan.
Aku mengerutkan alis. Nih orang kegeeran apa keoonan sih, “Buat apa, gue kan Cuma boong kali bilang kayak gitu, ogah ah!”
“Daripada lo di-Bully mulu ma dia, mending mana?” dia tersenyum lagi dan mulai melonggarkan cengkraman lengannya.
Aku berpikir cukup lama. Merenung. Untuk apa aku ikut acara ini? Ini aneh untukku. Lagipula, yang ngadaain acara ini kan Oma. Pasti aku takkan ada kesempatan untuk menang. Pasti akan terambil Andrew. Andrew, Andrew, Andrew.
Kalau aku ikut, mungkin juga nggak salah. Malah bagus. Setidaknya Summer dan sejenisnya di muka bumi ini takkan menggangguku lagi. Aku juga bisa lebih mendapatkan hati Oma. Yah, paling tidak mengalihkannya sedikit dari Andrew.  Uangnya, bisa kuhabiskan untuk membeli peralatan merchandise N.E.O ataupun menyumbangnya di Panti Kasih N.E.lover. Aku bakalan dilirik lebih deh sama personilnya.


                “Woi, ini bukan ajang buat bengong, okey?” Suara bass menggelegar ditelingaku. Membuyarkanku dari lamunanku.
            Aku tersenyum mantap. Dengan bersamanya, aku bisa mendapat 3 keuntungan. Perlindungan,  Kesempatan untuk ber-Caper, dan Uang. PUK, terdengar seperti sentilan kecil. Biarlah aku sama orang aneh ini untuk sementara waktu, yang penting PUK.
            “Wah, wah gaswat nih. Lo malah senyum – senyum nggak jelas. Lo demen ya sama gue?” Dia berkata dengan sangat narsisnya.
            “Idih ngarep banget. Ada juga elo kali yang demen ma gue!”
            Dia tersenyum kecil dan menggelengkan kepala, “Lo yakin gue demen sama lo?”
            Aku tersentak, tapi segera ku hapus pikiran yang belum selesai kucerna. Terlalu memusingkan dan nggak penting.
            “Sejujurnya gue bisa aja demen sama lo, asal ada tiga syarat.”
            Dia menaikkan sebelah alisnya “What, syarat?”
            Aku mengangguk.
            “Syaratnya apa?” Tanya Pangeran.
Lalu……
            Pada penasaran kagak ma lanjutannya? Cepetan komen ya. Kalau iya, bakal aku lanjutin. Tapi kalo nggak, aku bakalan hapus dari catatanku. Hiks.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar