Ada sedikit keanehan hari ini. Dua temanku, Dara dan Aulia
tidak ada di kelas sejak istirahat tadi. Mereka menghilang tanpa kabar. Aku
mencoba menengok kanan kiri tetapi memang tidak ada mereka.
Sekolah
memang selalu membuatku muak. Mereka terlalu berorientasi pada nilai. Hal ini
membuatku sangat tertekan. Belum lagi persoalan yang lain. Hari ini, tanpa ada
mereka berdua, pelajaran hari ini terasa sangat menyebalkan.
Saat ini
sedang pelajaran Biologi. Sang guru kali ini sedang menjelaskan tentang sistem
regulasi pada manusia. Ini berhubungan dengan otak dan sel saraf. Keren juga,
tapi nggak sekeren kalau ada mereka. Aku mengetuk – ngetuk dan memainkan
pensilku dengan jemari. Aku mendengarkan penjelasan guru sambil menoleh ke
kanan dan ke kiri. Memang nggak ada mereka.
“Maya, kamu
ngapain nengok kanan kiri? Memangnya ada sesuatu yang lebih menarik di kelas
ini ya?” Tegur Bu Guru tiba – tiba. Sejujurnya aku nggak ngerasa kaget karena
aku memang kepengen kayak gitu.
“Nggak ada
sih, Bu. Cuma, Dara ma Aulia ke mana ya? Kok dari tadi saya nggak ngeliat
mereka?”
Bu Guru
menautkan alisnya, “Mereka kan sudah izin pulang dari tadi. Memangnya kamu
nggak dikasih tau?”
“Hah, Izin?
Kok aku nggak dikasih tau ya?” Ujarku kaget dan reflek bermonolog.
“Katanya
mereka ada acara keluarga. Aneh, izin kok bareng – bareng. Padahal mereka nggak
dari keluarga yang sama.” Kata Bu Guru langsung menyerobot lagi.
Aku kembali
mendengarkan penjelasan Bu Guru. Yah kalau mau tahu, nama aslinya itu Bu Yuli.
Tak begitu sesuai dengan nama plesetannya, Bu Yuli jarang terlihat menggunakan
barang – barang yang berwarna kuning. Bu Yuli termasuk guru senior, makanya
kadang terlalu ngurusin anak – anak didiknya. Maksudnya menyusahkan. Bu Yuli
sangat menekankan kebersihan dan perawatan lingkungan. Benar – benar cocok jadi
guru Biologi. Mukanya aja udah kayak kembang sepatu alias Hibiscus Paraciea.
Eh?
Maka, aku harus bisa mebuat diriku
senyaman mungkin selama jam – jam terakhir ini. Kubayangkan sumsum tulang
belakang yang mirip seperti cetakan kupu – kupu. Sel saraf yang mirip sosis
asap panjang dengan ujung ranting dan berkepala lebar serta beranting. Otak pun
turut ku salah gaulin. Ups? Hehe, mau tau apa yang kupikirkan. Otak itu seperti
kumpulan usus yang dipadatkan. Ieuh, wajahku berubah muram. Bu Yuli yang sedari
tadi memerhatikanku hanya bisa mengerutkan kening dan berpikir kenapa dia bisa
punya murid seaneh aku.
Bel pun akhirnya berbunyi. Aku keluar
kelas dan mencari Andrew. Apa aku sudah kasih tau kalau aku sekelas dengan
Andrew? Belum ya? Andrew pindah kewarganegaraan ini sejak setahun yang lalu
tapi Andrew baru benar ke Indonesia dan pindah ke sekolah tiga bulan yang lalu.
Kali ini Andrew juga menghilang. Menyebalkan.
Sekarang aku bingung. Kalau Andrew
pulang duluan, itu artinya aku harus naik angkutan umum. Argh, pasti bakal
malem deh pulangnya. Sekarang saja sudah sore, terus gimana? Aku mengerutkan
bibir, menendang – nendang pasir dan bergumam nggak jelas selama menunggu di
halte. Aku tak peduli dan sepertinya orang sekelilingku begitu pula. Ada mbak –
mbak yang sibuk memainkan handphonenya, padahal aku rasa ada beberapa mata yang
siap untuk nyolong hapenya. Disebelahku, bapak – bapak tiga limaan ngerokok.
Aku memutar mata dan pergi dari tempat itu.
Saat aku berjalan, aku merasakan ada
hal yang aneh. Tadi saat menunggu di halte, ada sepasang mata tajam yang
menatapku dari kejauhan. Seorang lelaki, mungkin. Sekarang, aku kembali bingung
dan semakin cemas. Gimana nggak, lelaki itu sudah tidak berada di tempat itu
lagi. Terus dia ada dimana dong?
Kecemasanku bertambah parah dan
semakin parah. Tanpa sadar, aku berlari. Aku panik. Aku berlari semakin kencang sampai menabrak
seseorang didepanku. Kutengadahkan wajahku. Dia lebih tinggi dariku sehasta.
Kutatap wajahnya dan aku……..
“Aaaaaahhhhh” itulah satu kata yang
terucap dari mulutku. Aku takut sekali. Gimana nggak? Tampangnya kejam banget.
Aku hendak berlari dan berteriak minta tolong tapi dia memegang pundakku serta
membaliknya dengan kasar. Aneh, dia menyuruhku berhenti dengan isyarat. Sayang,
aku terlalu takut dan panik sehingga aku malah menangis keras. Dia pun mengaruk
kepalanya dengan bingung, lalu menyekap mulutku dan memaksaku ikut masuk ke
dalam mobilnya. Aku pasrah mengikutinya. Setidaknya dia tidak memasukkanku ke
dalam jeep dan mengikat tanganku.
Dia menjalankan mobilnya dengan
sangat kencang. Benar – benar kencang. Aku ketakutan dan berusaha membuka
pintnya. Sayangnya terkunci dan hanya sang supir yang bisa membukanya. Sial.
“Sayang sekali, nona. Anda takkan
bisa keluar dari mobil ini sampai kita tiba di tempat tujuan kita.” Dia
memberikan senyum liciknya meskipun wajahnya hanya terpaku pada jalan.
“Mau lo apa? Turunin gue sekarang
juga!” paksaku. Intinya, ngotot.
Bukannya menjawab, lelaki itu malah
tersenyum padaku dan mengelus daguku. Koreksi, mencolek. Tanganku bergetar dan
keluarlah keringat dingin. Gayanya sungguh mirip Adipura. Penjahat kelas kakap
bermuka licik. Pas banget. Matanya sama – sama tajam dan senumnya sama – sama
nggak tulus. Malah nakutin.
Di jalan, aku hanya bisa menatap
jalanan sekeliling yang sungguh membingungkan. Aku bakal dibawa kemana oleh
lelaki gila ini? Aku tak bisa tenang, bahkan untuk mendengarkan musik yang
diputar didashboard mobil. Ah untuk apa? Musiknya sama – sama gila. Melihat
interior mobil, rasanya sama seperti mobil ayahku.
“Hey girl, don’t worry. Let’s go
party shakalaka!” dia kembali tersenyum padaku. Pesta shakalaka? Maksudnya apa
coba?
“LO GILA!!!”
Dia kembali tak peduli, malah tetap
mengemudi sambil mabuk. Sebenarnya dia tidak minum, tapi gaya menyetirnya kayak
orang mabuk. Sradak sruduk. Sampai aku ngeh sama tempat ini. Kayak jalan ke
rumahku. Lah nih orang apa mau nganterin ke rumah aku ya?
Tibalah kami di depan sebuah rumah
besar. Itu rumahku. Aneh. Orang ini sungguh aneh. Dia mengantarku sampai ke
rumah? It’s so really magic!
“Lo malah keenakan lagi disini. Ayo
turun!” suara lelaki itu menyentakku dari lamunan. Aku menuruti ajakan lelaki
itu. Tentu saja pintu mobilnya dibukakan olehnya. Aku berjalan setengah nggak
percaya. Orang baik yang aneh. Atau…….
“Don’t touch me!” sentakku reflek
saat dia hendak memegang tanganku. Enak saja baru ketemu udah pegangan tangan.
Eh?
Aku mengetuk pintu. Hari itu masih
cukup sore. Sekitar jam lima sore. Aku menegok ke belakang dan melihat lelaki
itu masih menunggu tepat dibelakangku. Dia, dengan mata tajam dan senyumnya
yang aneh dan menakutkan.
Pintu terbuka. Aku langsung menjitak
kepala orang yang ngebukain pintu. Kau tahu siapa? Yups, Andrew.
“Hoi, sakitlah. Kagak sopan banget
luh. Ntar gue bilangin Oma nih!” katanya sambil mengelus kepalanya yang
kujitak.
Aku melangkah seolah – olah tidak ada
yang terjadi. Koreksi, tidak ada seorangpun disekitar pintu. Andrew pun juga
bersikap hal yang sama. Dia malah menyilahkan cowok yang berada dibelakangku.
Aku tetap nggak peduli sampai…..
“Drew, kok rumah jadi rame sih? Ada
acara apa?” Tanyaku heran.
“Oma ma Opa dateng ke sini” jawabnya
datar dengan sedikit happy. Dia segera bergabung denan kerumunan itu.
Oma dan Opaku memang heboh. Setiap
mereka datang kemari, selalu ada saja perayaan. Mereka juga suka memberikn
kejutan pada anak-cucunya. Sayang, Omaku pilih kasih, dia sering memberikan
hadiah ke Andrew, sementara ke cucunya yang lain malah jarang. Bahakan, aku tak
pernah diberi sama sekali. Menyebalkan sekali bukan? Padahal aku cucu perempuan
kandung satu – satunya dia Jo’s family.
Aku mengikuti langkah Andrew. Aku
kemudian berhenti dan terpaku pada sepasang manula yang sedang bercengkrama.
Ya, dia Opa dan Omaku. Omaku menoleh dan menatapku.
“Maya, ayo kemari!” ajak Oma.
Aku mendekati Oma dan Oma memberikanku kejutan. Tahukah kau apa
kejutannya?
“Maya, Oma sebentar lagi akan
memberikanmu dan yang lain warisan. Hanya seperseratusnya aja kok.” Katanya
tersenyum. Dia lalu menuju panggung yang telah dipersiapkan dan mulai
berbicara,
“Anak – anak dan cucu – cucu Oma yang
Oma cintai. Oma akan memberikan kalian kejutan baru. Sebulan lagi Oma dan Opa
akan merayakan ulang tahun pernikahan yang ke, umm, 50 tahun. Sudah tua sekali
bukan?”
“Iya, Oma dan Opa sudah tua. Jangan
suka mengulur waktu. Harus dipergunakan dengan baik.” Jawabku semi bete.
Hasilnya? Oma menatapku tajam lalu kembali melanjutkan bicaranya,
“Ah, hanya gangguan teknis sedikit.
Oma ingin memberikan kalian, umm” Oma berhenti bicara dan mengecek kondisi
dompetnya, “Hahaha, kenapa kalian ikut mengecek dompet kalian juga? Memangnya
uang satu miliar muat masuk ke dalam dompet?” Oma cekikikan.
Aku tiba – tiba tersedak. Satu
miliar. Maksudnya? Oma dan Opa mau ngasih satu miliar gitu? Something banget
sih. Mengherankan. Make me so curious.
“Kalian pasti kaget. Opa kalian
memang akan memberikan satu miliar, tapi ada syaratnya. Kalian harus mempunyai
pasangan dan bersikap mesra sampai satu bulan lamanya. Buat yang jomblo, jangan
harep ya!” Wow, Oma mengakhirinya dengan kata – kata yang P-E-D-A-S. Asem. Eh?
Aku menoleh pada Andrew dan
mendekatinya. Dia ngeh dengan keberadaanku.
“Mau ikut?” tanyanya.
“Entahlah.” Jawabku yakin nggak
yakin.
Entah dari mana keberadaan dari mana
atau bagaimana, ada suara tertawaan yang mirip sekali dengan suara mak lampir.
Aku dan Andrew berbalik. Argh, Sumur!
“Hai, Bule nggak laku!” sindir
Summer.
Dia Summer. Aku lebih suka
menyebutnya sumur. Lagian sok – sok western banget. Gue yang turunan western
aja nggak selebay itu.
“Lo juga sama kali. Nggak laku!”
Balasku dengan ngotot.
“Eh, sapa bilang. Lihat nih sapa yang
datang. Bebeph, sini dong!” dia
memanggil cowok yang berada dari kejauhan dan keluarlah cowok tampan yang buta.
Oke, matanya normal tapi aneh aja ada yang suka muka tua kayak Summer gitu.
“Kenalin. Dia ikan kesayanganku.
Namanya Qoqi.” Dia mengenalkan pacarnya.
“Hai, aku Qoriaswarandana, panggil
aja aku Qoqi.” Dia mengulurkan tangannya.
“Hai juga. Maya” kubalas jabat
tangannya. Shakehand yang mantap. Dia cowok banget.
Qoqi. Sepintas mirip ikan Koki. Koki
yang tampan. Dilihat dari dekat, kece badai. Summer memang Summer. Menyilaukan
mata Qoqi. Aneh. kalau aku jadi dia, bakalan aku putusin kali.
“Nah, mana cowok lo?” dia kembali
mengejekku.
“Andrew?” pintaku.
“Sorry, my lovely cousin. Gue udah
punya pacar.” Jawabnya enteng. Menolakku.
“Siapa?” tanyaku. Mendadak sedih.
Summer makin merajalela deh.
“Honey Bunny Sweety, aku kelamaan
ya?” Tiba – tiba seorang cewek menghampiri Andrew dan memasang tampang
manja.
“It’s Ok, my
dear.” Jawabnya tersenyum dengan sangat lembut.
Aku jealous dan shock secara
bersamaan. Cemburu karena ada seseorang yang bermanja – manjaan dengan Andrew
dan Andrew malah ngebiarin aja. Kaget karena cewek itu, AULIA!
“Aulia! Kamu ngapain disini?” Tanyaku
sewot.
“Weiz mbak, stay cool. Gue kan
pacarnya dia, jadi gue mesti hadir di tempat ini.” Jawabnya dengan amat riang.
“What? Lo pacaran ma Andrew? It’s
so…… tunggu bentar, lo kesini bareng ma sapa? Gue tau lo nggak suka pergi ke
tempat baru kalo nggak ada temen lo.” Aku benar – benar korslet dan semakin
korslet setelah…..
“Dia dateng bareng ma gue.”
Penjelasan singkat itu datang dari Dara. Dia dateng dengan Julio. It’s really……
“Cup cup cup, kasian yah, yang nggak
laku. Wayahna yah!” Si Sumur kembali beraksi. Sedari tadi dia emang ada di
depan aku. Tragis dan semakin tragis karena dia melihat penderitaanku dari awal
hingga akhir.
“Wayahna atuh dia jadi pacar
pangeran.” Si orang aneh itu menyelamatkanku dari rasa malu. Cowok itu telah
membutakan sebagian besar wanita di tempat itu kecuali Aku dan Omaku.
“Hai Handsome Prince!” sapa Summer
yang mendadak berubah jadi centil.
Di saat seperti itu, dia kembali
menyentuhku. Kali ini merangkulku. Apa – apaan?
“Suut, jangan kayak gitu. Nanti pacar
gue cemburu.” Katanya sambil mendesiskan mulut dengan isyarat diam.
“Pacar? Kenalan aja belum.” Kataku
jutek.
“Oh iya, gue hampir lupa. Nama gue
Pangeran.” Katanya denga sangat pede.
Sayang sekali, kepedean dia malah
kubalas dengan ludahan. Hanya isyarat, bukan meludah asli. Tapi tetep nyelekit.
“Narsis banget lu. Sayang sekali, gue
bukan Cinderella. Gue Maya Jo.” Ledekku penuh sarkatis.
“Dih, gue emang pangeran. Pangeran
Gusti Prasetyo. Iya nggak sob?” dia mengulurkan tangannya ke atas dan ber hi-five
ria dengan Andrew.
“Yoi, prince.” Jawabnya sangat
mendukung disertai dengan kenaikan sebelah alisnya.
Aku hanya bisa menganga. Prince?
“Ahaa, kau kalau tak mau, aku yang
bakal ambil. Sayang mubazir.” Summer langsung menarik lengan Pangeran. Bener –
bener dahsyat. Di depan Qoqi pun dia berani pegang tangan cowok lain? Qoqi
bener – bener buta.
Pangeran melotot kaget, terlebih aku.
Tanpa babibu, kulepaskan lengan yang menarik tangan Pangeran. Kutautkan
lengannya pada lenganku. Kulihat wajahnya tersenyum sagat puas.
“Dia punya gue. Sana lo pergi sama
pacar lo!” gertakku.
Summer pun melengos pergi. Qoqi
menyusul di belakang. Koreksi, sebenarnya Qoqi sudah pergi dari tadi, hanya
saja tadi dia balik lagi.
Kutolehkan wajahku ke wajahnya.
Kukerucutkan bibirku saat melihatnya. Kulepaskan lenganku darinya tapi malah
melekat seolah – olah ada lem yang meliputi lenganku dan lengannya. Dia hanya
tersenyum.
“Lepasin tangan gue, dasar orang
aneh!” kataku sambil berusaha melepaskan diri dari bekapan lengan Pangeran.
“Tapi lo mau kan jadi pacar gue?”
Bukannya lepasin tanganku, dia malah makin ke-GeeRan.
Aku mengerutkan alis. Nih orang
kegeeran apa keoonan sih, “Buat apa, gue kan Cuma boong kali bilang kayak gitu,
ogah ah!”
“Daripada lo di-Bully mulu ma dia,
mending mana?” dia tersenyum lagi dan mulai melonggarkan cengkraman lengannya.
Aku berpikir cukup lama. Merenung.
Untuk apa aku ikut acara ini? Ini aneh untukku. Lagipula, yang ngadaain acara
ini kan Oma. Pasti aku takkan ada kesempatan untuk menang. Pasti akan terambil
Andrew. Andrew, Andrew, Andrew.
Kalau aku ikut, mungkin juga nggak
salah. Malah bagus. Setidaknya Summer dan sejenisnya di muka bumi ini takkan
menggangguku lagi. Aku juga bisa lebih mendapatkan hati Oma. Yah, paling tidak
mengalihkannya sedikit dari Andrew.
Uangnya, bisa kuhabiskan untuk membeli peralatan merchandise N.E.O
ataupun menyumbangnya di Panti Kasih N.E.lover. Aku bakalan dilirik lebih deh
sama personilnya.
“Woi, ini bukan ajang buat bengong,
okey?” Suara bass menggelegar ditelingaku. Membuyarkanku dari lamunanku.
Aku tersenyum mantap. Dengan
bersamanya, aku bisa mendapat 3 keuntungan. Perlindungan, Kesempatan untuk ber-Caper, dan Uang. PUK,
terdengar seperti sentilan kecil. Biarlah aku sama orang aneh ini untuk
sementara waktu, yang penting PUK.
“Wah, wah gaswat nih. Lo malah
senyum – senyum nggak jelas. Lo demen ya sama gue?” Dia berkata dengan sangat
narsisnya.
“Idih ngarep banget. Ada juga elo
kali yang demen ma gue!”
Dia tersenyum kecil dan
menggelengkan kepala, “Lo yakin gue demen sama lo?”
Aku tersentak, tapi segera ku hapus
pikiran yang belum selesai kucerna. Terlalu memusingkan dan nggak penting.
“Sejujurnya gue bisa aja demen sama
lo, asal ada tiga syarat.”
Dia menaikkan sebelah alisnya “What,
syarat?”
Aku mengangguk.
“Syaratnya apa?” Tanya Pangeran.
Lalu……
Pada penasaran kagak ma lanjutannya? Cepetan komen ya. Kalau iya, bakal
aku lanjutin. Tapi kalo nggak, aku bakalan hapus dari catatanku. Hiks.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar