“Nananana…. Nananana…..,” terdengar suara seorang anak perempuan menggumamkan lagu kesukaannya. Marsya, begitulah sebutan namanya, sedang bersepeda santai seorang diri. Pagi ini cuaca di Taman Marchantia, tempatnya bersepeda, begitu cerah. Hanya saja suasananya tidak begitu ramai. Dia terlihat gembira sekali. Dikayuhnya sepeda itu dengan semangat. Tiba – tiba….. “NGUEENNGGG” terdengar bunyi motor mengebut dari arah belakang. Rupanya mereka sedang balap motor liar atau lebih tepatnya dibilang ngetrek. “Dasar tukang onar!!” gerutu Marsya dengan keras. Ia tahu seberapapun dia berteriak memaki mereka tidak akan berguna. Marsya pun melihat dengan dongkol bagaimana mereka mengendarai motor dengan kecepatan tinggi, ugal – ugalan pula. “Awas ya, besok pada gw laporin ke polisi biar pada tahu rasa!” gumam Marsya kesal.
Dari arah belakang, sebuah motor melaju dengan kecepatan tinggi. Karena kecepatan motonya sangat tinggi, pengendara motor itu tidak bisa mengerem tepat pada waktunya. “DUBRAK!!!” sepeda Marsya terjatuh. “AAAAAA!!” tubuh Marsya terpental dan terjatuh agak jauh dari sepedanya. Si penabrak terkejut melihat kejadian tersebut.
“Aduh..” Marsya meringis sambil memegangi betisnya yang kesakitan. Sakitnya bukan main. “BRUUUMMM… BRUMMM…. NGUUEENNGGG…” penabrak itu kembali melesat ke jalan raya dengan kecepatan tinggi. Meninggalkan Marsya seorang diri. Tapi sebelum penabrak itu melesat jauh, Marsya sempat melihat nomor polisi yang tertera di belakang motor tersebut. Seketika terlintas satu nama. “ARDIIIIIII!!!!!!!”
Keesokan harinya…..
“Brumm… brumm…” seorang anak lelaki datang ke rumah dengan aksen bata merah. Ia memarkirkan motor sportnya di sekitar halaman rumahnya. Kemudian ia memasuki rumahnya sambil bersiul dan memainkan kunci motornya. Belum sepuluh langkah ia memasuki rumahnya, ia sudah dipukuli sapu lidi oleh ayahnya.
“ANAK KURANG AJAR!!!! APA AKU TIDAK PERNAH MENGAJARIMU BERTANGGUNG JAWAB??!!! KENAPA KAU MENINGGALKAN TETANGGAMU YANG KAU TABRAK SENDIRI???!!! TETANGGAMU SENDIRI!!!!!!”
“Ampun, pa. Ampun. Ardi bakal ngejelasin semuanya ke Papa!” rengek Ardi sambil menghalau pukulan sapu lidi tersebut.
“Bohong kamu!” Gertak ayahnya yang tak bosan – bosannya memukuli anaknya tersebut.
“Kalo papa mukul Ardi terus, bakal Ardi laporin papa ke Kak Seto!” ancam Ardi. Tentunya ancaman ini tidak serius. Sayangnya pukulan ayahnya malah semakin keras.
“Lagian juga Kak Seto mana mau nolongin anak sengak kayak lo” kata Marsya sambil menahan tawa. Ia tidak bisa menolong Ardi saat itu. Selain karena masih kesal dengan sikap Ardi, kakinya juga patah.
Marsya teringat saat Ardi pergi meninggalkan dirinya seorang diri saat itu. Ia berteriak memanggil namanya tetapi dia malah pergi. Mungkin terlalu ketakutan atau apapun itu tapi Marsya tetap tak bisa menerimanya. Saat itu ia hanya berpikir untuk menghubungi orangtuanya dan seandainya ia ditanya oleh orang tuanya, maka ia hanya menjawab kalau dia korban tabrak lari. Memang iya kan?
“Sudah lah Oom, jangan mukul Ardi terus. Kasian, dia kan manusia.” Bela Marsya. “Tuh, Pah. Dengerin kata Marsya. Gini – gini juga Ardi kan anak Papa.” Ardi berusaha ngeles. Papanya hanya mendesah keras dan menghentikan pukulannya. “Maafkan Oom karena tidak bisa mendidik Ardi dengan baik.”
Marsya pun berkata pada ayah Ardi, “Aduh, justru Marsya yang harus meminta maaf karena bikin Oom susah. Sebenarnya saya tidak mau melakukan hal ini, tapi karena kemarin Ardi tidak menolong saya, saya terpaksa melakukan ini. Melaporkan Ardi ke kantor polisi.”
“Apa?” Respon Ardi yang memang sangat ditunggu oleh Marsya. “Kecuali, dengan satu syarat.” Katanya tanpa dosa. “Lo mesti ngerawat gw ampe gw bisa jalan lagi!” katanya.
“Yang bener aja lo? Mending gw disamber gledek ketimbang ngerawat cewe penyiksa macam loe!” protes Ardi.
“ARDI!” gertak ayahnya.
“Iya, pa. iya” kata Ardi ogah – ogahan. Nih cewek maunya apa sih? Sok ngancam gw lagi. Gumam Ardi
Sampai besoknya…….
“Huah, pegel!” kata Ardi merenggangkan punggung. “Kenapa sih lo mesti minta gendong? Tapi nggak apa – apa. Penderitaan gw udah berakhir.”
“Apanya yang berakhir? Gw belum sembuh tahu! Lagian juga gw belum nyuruh lo pulang!” katanya santai sambil membaca buku pelajaran. Ardi menatap kaki Marsya yang dibebat. Ingin rasanya dia menendang kaki Marsya. Tapi kalau itu dilakukan, ia akan masuk penjara.
“Terus gw mesti ngapain lagi?” Tanya Ardi pasrah.
“Temenin gw belajar.” Jawabnya datar.
Ardi langsung memukulkan dahinya ke dinding di sekitarnya secara berulang – ulang.
“Payah, segitu aja nyerah. Gimana besok?” kata Marsya meledek Ardi.
“Kenapa nggak sendiri aja sih?” protes Ardi.
“Salah sendiri nabrak anak orang.” Katanya santai. “Tetanggamu sendiri!” Kata Marsya mengikuti kata ayahnya Ardi.
Mulai hari itu dan seterusnya, Ardi harus menjadi supir sekaligus pembantunya dia. Gratis pula. Dari mengantar Marsya pulang pergi ke sekolah, menemaninya belajar, dan mengajarinya berjalan tentunya. Bahkan Ardi harus mengerjakan pekerjaan rumah yang biasanya dikerjakan Marsya. Dari menyapu, mengepel, sampai memasak. Semua itu dilakukan Ardi selama hampir 3 bulan. Perubahnnya pun mulai muncul. Ardi mulai menjadi anak yang rajin dan nggak suka ugal – ugalan lagi saat mengendarai motor. Panggilan Ardi pun berubah menjadi ‘pekerja kebaikan’.
Pada hari ke – 70, saat Marsya sudah lancar berjalan…..
“Gw nggak nyangka, ini udah hari terakhir penderitaan gw.” Kata Ardi sambil melamun. Dia tersenyum tapi matanya sendu.
“Lho kok malah nggak senang gitu sih, bukannya lo pengen keluar dari kekangan gw?” Tanya Marsya heran.
“Entahlah. Gw malah menikmatinya.” Jawab Ardi sambil tersenyum samar ke Marsya.
“Senyuman lo nggak mempan buat gw, yang ada malah biking gw merinding tau” kata Marsya masih dengan keheranannya.
“Yaudah deh, gw pulang dulu. Salam buat ortu lo.” Kata Ardi sambil beranjak dari kursinya.
Marsya mengantarnya sampai depan rumahnya. Ardi tersenyum penuh arti. “Napa lo senyam senyum gitu?” Tanya Marsya heran.
“Lo emang bidadari gw.” Katanya sambil tersenyum genit pada Marsya.
“Oh ngegombal? Nggak ngefek!”Balas Marsya dengan jutek.
“Hehe, gw juga Cuma iseng, hehe” Ardi menggaruk kepalanya.
Marsya hanya menatap Ardi dengan sinis.
Keesokan harinya…..
“Brebetbrebetbrrreeeetttt” Ardi mencium udara sekelilingnya. Tidak bau. Pagi itu dia sedang berada di dapur. Akhir – akhir ini Ardi memang suka sekali memasak. Tiba – tiba dia teringat bunyi telepon yang memang mirip sekali dengan bunyi kentut. Dia pun mencari handphonenya dan mengangkat teleponnya,
“Halo,”
“Halo juga, bro. Tumben dah bangun, biasanya gw jadi jam weker loe dah”
“Lo ngejek gw nieh? Gw sekarang udah sering bangun subuh tau!”
“Cieee, gara – gara deket terus ma Marsya, jadi alim lo. Ntar ngetrek lagi yuk?”
“Apaan sih lo, ngiri? Bilang aja kali. Ngetrek? Nggak ah. Gw mau ke rumah Marsya.”
“ini udah 3 bulan, bro. Sampe kapan lo mw ninggalin kita – kita?” bujuk temannya.
“Kalo lo maksa, gw bakal dateng, tapi belakangan. Gw mau jenguk Marsya dulu.”
“Yaudah kalo gitu, dah”
Sore harinya……
Ardi mengetuk rumah Marsya. Rencananya Ia mengajak Marsya balap motor. Ia ragu Marsya akan mau ikut dengannya. Ia pun mengetuk pintu. Keluarlah seorang gadis dengan kaos kelonggaran berlengan panjang dan celana training panjang.
“Eh, Ardi?”
“Marsya, baju lo nggak ada yang bagusan dikit gitu.” Ia bingung dengan pakaian Marsya yang menurutnya mirip karung goni.
“lo datang kesini mau ngapain?” Ucap Marsya to the point.
“Gw mau ngajak lo ngetrek, hehe” Ajak Ardi meringis.
“Nggak mau!” Tolak Marsya.
Ardi pun kaget dengan jawaban Marsya, “Lho kenapa? Bukannya seru ya?”
“Apa lo nggak ngerti bahaya ugal – ugalan di jalan? Kalo lo mati gimana? Ortu lo pasti bakal sedih.”Tanya Marsya.
“Iya, gw ngerti. Tapi gw bakal hampa tanpa ini.” Bujuk Ardi mengiba.
“Daripada lo ngetrek nggak jelas gitu, mendingan lo ikut balap motor yang legal alias bukan ngetrek. Selain nggak ngelanggar, lo juga bakal dapet hadiah yang banyak” Usul Marsya. Bukan jawaban yang diinginkan Ardi rupanya.
“Lo betul juga. Sebaiknya gw pulang.” Ardi melangkah pergi dari rumah Marsya. Hatinya hampa. Ia pun mengurungkan niatnya bertemu teman – temannya. Dari kejauhan, Marsya pun tersenyum. “Anak yang baik tetapi berada di tempat yang salah.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar